Menurut
beberapa informan yang kami temui, nama Bagansiapi-api berasal dari
gabungan kata “Bagan” dan kata “Api-api”. Frase pertama berarti “tempat
menyimpan dan menjemur ikan”, sementara frase kedua merupakan kosa kata
daerah-daerah Bagansiapi-api yang artinya “kunang-kunang”, nama untuk
binatang kecil yang berterbangan pada malam hari, dan di sayapnya
terdapat cahaya berkerlipan sehingga terlihat seperti percikan-percikan
api. Astrie Andriyani mengisahkan bahwa asal-muasal penggunaan kata
“Bagansiapi-api” sebagai nama daerah ini, karena saat malam hari tiba,
di tempat-tempat “penyimpanan dan penjemuran ikan” milik masyarakat
pribumi di daerah tersebut banyak dikerumuni kunang-kunang. (Lihat,
Andriyani, 2001:19).
Masyarakat China di Bagansiapi-api biasa menyebut Bagan dengan “Bangliau” (Wang Liao) yang artinya “Jaring Kosong”. Banyak orang dari daerah lain di sekitar Bagansiapi-api menyebut daerah itu sebagai tempat “Bagan” dan tempat “Siapi-api”, yang belakangan menjadi satu frase tersendiri: “Bagansiapi-api”. (Lihat, Andriyani, 2001:19-20). Tanpa bermaksud menafikan argumentasi lain mengenai asal-usul penamaan Bagansiapi-api, tampaknya informasi ini relatif bisa diterima untuk menjelaskan latar belakang penyebutan daerah ini dengan nama Bagansiapi-api.
Bagansiapi-api merupakan salah satu kota kecil di sudut wilayah pulau Sumatera. Kota ini dikembangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda, —setidaknya dilihat dari perhatian intensif yang diberikan pemerintah kolonial terhadap pembangunan kota ini. Perhatian intensif dari pemerintah kolonial Belanda terhadap pembangunan Bagansiapi-api mengingat kekayaan sumber daya alam daerah ini terutama hasil lautnya. Pada masa kolonial Hindia Belanda kota ini mengalami perkembangan pesat sehingga pernah tercatat sebagai pusat penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia. Seorang sejarawan, Sudarno Mahyudin melaporkan bahwa pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Bagansiapi-api duduk seorang kontroleur atau yang lazim disapa kontrolir dan menjadikan kota ini sebagai suatu wilayah administratif bernama Kewedanaan. Status administratif tersebut tetap dipertahankan pada masa kolonial Jepang, meskipun saat itu posisi kontrolir diganti dengan Gun Co yang dijabat oleh seorang Melayu bernama Mokhtar. (Lihat, Mahyudin, 2006:1-6).
Menurut laporan perjalanan rombongan pendamai tentang peristiwa kerusuhan di Bagansiapi-api yang ditulis oleh Mokhtar, Bagansiapi-api pada tahun 1945 berpenduduk kurang lebih 30.000 jiwa, yang terdiri dari kira-kira 80 persen keturunan China. Pada zaman penjajahan Belanda dahulu atau sebelum tahun 1942, di kota ini tumbuh organisasi-organisasi rakyat Indonesia seperti Syarikat Islam dan Muhammadiyah. Sedangkan pada pihak China ada pula mempunyai organisasi sosial dan ekonomi yang mendapat tunjangan dari pemerintah Hindia Belanda (Lihat, Mahyudin, 2005). Laporan tentang keragaman 0rganisasi-organisasi sosial tersebut merupakan fakta historis yang menunjukkan pluralitas sosial masyarakat dan memperlihatkan arti strategis Bagansiapi-api pada era kolonial dan berlangsung hingga masa post-kolonial atau setelah kemerdekaan.
Sejak era reformasi, Bagansiapi-api, atau oleh penduduknya sering disebut dengan nama Bagan (saja) merupakan salah satu kota kecil yang saat sekarang menjadi Ibu Kota Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Status ini disandang menyusul pemekaran Kabupaten Bengkalis pada tahun 2000 menjadi beberapa kabupaten, salah satunya adalah Kabupaten Rokan Hilir. Berdasarkan informasi seorang informan di lapangan, upaya untuk menjadi kabupaten sendiri sesungguhnya sudah dilakukan semenjak tahun 1963, tetapi usaha tersebut selalu mengalami kegagalan. Keinginan ini semakin terpendam ketika pemerintahan Orde Baru dengan sistem pemerintahan yang sentralistik mengambil alih kekuasaan selama lebih dari tiga dasawarsa. Maka segera setelah pemerintahan Orde Baru berakhir, dan pemerintahan di era reformasi tampaknya akomodatif dengan gagasan otonomi daerah dan memberikan apresiasi kepada daerah-daerah tertentu untuk memekarkan diri, momentum tersebut disambut dengan seksama oleh para elite masyarakat di Rokan Hilir untuk memekarkan diri dari Bengkalis dan membentuk kabupaten sendiri dengan Ibu Kota di Bagansiapi-api.
Usaha untuk memisahkan diri dari Kabupaten Bengkalis dengan membentuk Kabupaten Rokan Hilir pada era reformasi hampir tidak menemukan hambatan politis yang berarti. Hal ini antara lain lantaran gagasan otonomi daerah pada masa itu cukup mendapat dukungan dari pemerintah Indonesia pada masa reformasi. Namun di internal masyarakat Rokan Hilir, persoalan muncul pada saat pembicaraan tentang letak ibu kota kabupaten yang akan dibentuk. Beberapa elite masyarakat di Rokan Hilir bersilang sengketa menyangkut letak pusat pemerintahan kabupaten baru tersebut, apakah berkedudukan di Bagansiapi-api atau Ujung Tanjung. Setelah melewati perdebatan intensif, akhirnya dalam suatu Musyawarah Besar (Mubes) Masyarakat Rokan Hilir yang diselenggarakan 19 Juni 1999 di sepakati bahwa Bagansiapi-api “untuk sementara dan pertama kali” ditetapkan sebagai Ibu Kota Rokan Hilir (Lihat, Laporan Mubes, 19 Juni 1999). Selanjutnya, nama Bagansiapi-api pula yang muncul sebagai Ibu Kota saat UU tentang pembentukan Kabupaten Rokan Hilir mendapat pengesahan dari pemerintah pusat di Jakarta.
Menjadi Ibu Kota Kabupaten Rokan Hilir, keragaman sosial masyarakat Bagansiapi-api pada kadar tertentu merepresentasikan pluralitas sosial masyarakat Rokan Hilir secara keseluruhan. Mendiami empat kelurahan yang menyebar di Kelurahan Bagan Barat, Bagan Kota, Bagan Hulu, dan Bagan Timur; masyarakat Bagansiapi-api selain memiliki populasi sangat padat, pula memiliki keragaman sosial yang ko-eksisten atau saling mengakui keberadaan masing-masing antara satu komunitas etnis dengan komunitas etnis lainnya. Mereka berasal dari latar-belakang yang heterogen seperti dalam hal etnisitas, pendidikan, agama dan mata-pencaharian.
Berdasarkan laporan Kecamatan Bangko, populasi masyarakat Bagansiapi-api di empat kelurahan seluas 141.85 KM2 tersebut mencapai 37.880 jiwa, terdiri dari 19.518 jiwa laki-laki dan 18.362 jiwa selebihnya perempuan. Kelurahan terpadat adalah Kelurahan Bagan Timur dengan populasi mencapai 13.000.688 jiwa, disusul secara berurutan Kelurahan Bagan Hulu dengan populasi 10.585 jiwa, Kelurahan Bagan Timur dengan populasi 7.610 jiwa, dan terakhir Kelurahan Bagan Kota dengan populasi sebesar 5.997 jiwa. Apabila data ini lebih diklasifikasi menurut umur, terungkap bahwa sebanyak 4.770 jiwa atau 12 persen berumur 0-5 tahun, 3.716 jiwa atau 10 persen berumur 6-12 tahun, 4.813 jiwa atau 13 persen berumur 13-16 tahun, 6.023 jiwa atau 16 persen berumur 17-19 tahun, 7.512 jiwa atau 20 persen berumur 20-25 tahun, 4.234 jiwa atau 11 persen berumur 26-39 tahun, 2.432 jiwa atau 6 persen berumur 40-55 tahun, 2.256 jiwa berumur 56-60 tahun, dan selebihnya atau sekitar 2.124 jiwa atau 6 persen berumur 60 tahun atau lebih. (Kantor Camat Bangko, 2006).
Masyarakat China di Bagansiapi-api biasa menyebut Bagan dengan “Bangliau” (Wang Liao) yang artinya “Jaring Kosong”. Banyak orang dari daerah lain di sekitar Bagansiapi-api menyebut daerah itu sebagai tempat “Bagan” dan tempat “Siapi-api”, yang belakangan menjadi satu frase tersendiri: “Bagansiapi-api”. (Lihat, Andriyani, 2001:19-20). Tanpa bermaksud menafikan argumentasi lain mengenai asal-usul penamaan Bagansiapi-api, tampaknya informasi ini relatif bisa diterima untuk menjelaskan latar belakang penyebutan daerah ini dengan nama Bagansiapi-api.
Bagansiapi-api merupakan salah satu kota kecil di sudut wilayah pulau Sumatera. Kota ini dikembangkan pemerintah kolonial Hindia Belanda, —setidaknya dilihat dari perhatian intensif yang diberikan pemerintah kolonial terhadap pembangunan kota ini. Perhatian intensif dari pemerintah kolonial Belanda terhadap pembangunan Bagansiapi-api mengingat kekayaan sumber daya alam daerah ini terutama hasil lautnya. Pada masa kolonial Hindia Belanda kota ini mengalami perkembangan pesat sehingga pernah tercatat sebagai pusat penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia. Seorang sejarawan, Sudarno Mahyudin melaporkan bahwa pada masa pemerintahan Hindia Belanda di Bagansiapi-api duduk seorang kontroleur atau yang lazim disapa kontrolir dan menjadikan kota ini sebagai suatu wilayah administratif bernama Kewedanaan. Status administratif tersebut tetap dipertahankan pada masa kolonial Jepang, meskipun saat itu posisi kontrolir diganti dengan Gun Co yang dijabat oleh seorang Melayu bernama Mokhtar. (Lihat, Mahyudin, 2006:1-6).
Menurut laporan perjalanan rombongan pendamai tentang peristiwa kerusuhan di Bagansiapi-api yang ditulis oleh Mokhtar, Bagansiapi-api pada tahun 1945 berpenduduk kurang lebih 30.000 jiwa, yang terdiri dari kira-kira 80 persen keturunan China. Pada zaman penjajahan Belanda dahulu atau sebelum tahun 1942, di kota ini tumbuh organisasi-organisasi rakyat Indonesia seperti Syarikat Islam dan Muhammadiyah. Sedangkan pada pihak China ada pula mempunyai organisasi sosial dan ekonomi yang mendapat tunjangan dari pemerintah Hindia Belanda (Lihat, Mahyudin, 2005). Laporan tentang keragaman 0rganisasi-organisasi sosial tersebut merupakan fakta historis yang menunjukkan pluralitas sosial masyarakat dan memperlihatkan arti strategis Bagansiapi-api pada era kolonial dan berlangsung hingga masa post-kolonial atau setelah kemerdekaan.
Sejak era reformasi, Bagansiapi-api, atau oleh penduduknya sering disebut dengan nama Bagan (saja) merupakan salah satu kota kecil yang saat sekarang menjadi Ibu Kota Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau. Status ini disandang menyusul pemekaran Kabupaten Bengkalis pada tahun 2000 menjadi beberapa kabupaten, salah satunya adalah Kabupaten Rokan Hilir. Berdasarkan informasi seorang informan di lapangan, upaya untuk menjadi kabupaten sendiri sesungguhnya sudah dilakukan semenjak tahun 1963, tetapi usaha tersebut selalu mengalami kegagalan. Keinginan ini semakin terpendam ketika pemerintahan Orde Baru dengan sistem pemerintahan yang sentralistik mengambil alih kekuasaan selama lebih dari tiga dasawarsa. Maka segera setelah pemerintahan Orde Baru berakhir, dan pemerintahan di era reformasi tampaknya akomodatif dengan gagasan otonomi daerah dan memberikan apresiasi kepada daerah-daerah tertentu untuk memekarkan diri, momentum tersebut disambut dengan seksama oleh para elite masyarakat di Rokan Hilir untuk memekarkan diri dari Bengkalis dan membentuk kabupaten sendiri dengan Ibu Kota di Bagansiapi-api.
Usaha untuk memisahkan diri dari Kabupaten Bengkalis dengan membentuk Kabupaten Rokan Hilir pada era reformasi hampir tidak menemukan hambatan politis yang berarti. Hal ini antara lain lantaran gagasan otonomi daerah pada masa itu cukup mendapat dukungan dari pemerintah Indonesia pada masa reformasi. Namun di internal masyarakat Rokan Hilir, persoalan muncul pada saat pembicaraan tentang letak ibu kota kabupaten yang akan dibentuk. Beberapa elite masyarakat di Rokan Hilir bersilang sengketa menyangkut letak pusat pemerintahan kabupaten baru tersebut, apakah berkedudukan di Bagansiapi-api atau Ujung Tanjung. Setelah melewati perdebatan intensif, akhirnya dalam suatu Musyawarah Besar (Mubes) Masyarakat Rokan Hilir yang diselenggarakan 19 Juni 1999 di sepakati bahwa Bagansiapi-api “untuk sementara dan pertama kali” ditetapkan sebagai Ibu Kota Rokan Hilir (Lihat, Laporan Mubes, 19 Juni 1999). Selanjutnya, nama Bagansiapi-api pula yang muncul sebagai Ibu Kota saat UU tentang pembentukan Kabupaten Rokan Hilir mendapat pengesahan dari pemerintah pusat di Jakarta.
Menjadi Ibu Kota Kabupaten Rokan Hilir, keragaman sosial masyarakat Bagansiapi-api pada kadar tertentu merepresentasikan pluralitas sosial masyarakat Rokan Hilir secara keseluruhan. Mendiami empat kelurahan yang menyebar di Kelurahan Bagan Barat, Bagan Kota, Bagan Hulu, dan Bagan Timur; masyarakat Bagansiapi-api selain memiliki populasi sangat padat, pula memiliki keragaman sosial yang ko-eksisten atau saling mengakui keberadaan masing-masing antara satu komunitas etnis dengan komunitas etnis lainnya. Mereka berasal dari latar-belakang yang heterogen seperti dalam hal etnisitas, pendidikan, agama dan mata-pencaharian.
Berdasarkan laporan Kecamatan Bangko, populasi masyarakat Bagansiapi-api di empat kelurahan seluas 141.85 KM2 tersebut mencapai 37.880 jiwa, terdiri dari 19.518 jiwa laki-laki dan 18.362 jiwa selebihnya perempuan. Kelurahan terpadat adalah Kelurahan Bagan Timur dengan populasi mencapai 13.000.688 jiwa, disusul secara berurutan Kelurahan Bagan Hulu dengan populasi 10.585 jiwa, Kelurahan Bagan Timur dengan populasi 7.610 jiwa, dan terakhir Kelurahan Bagan Kota dengan populasi sebesar 5.997 jiwa. Apabila data ini lebih diklasifikasi menurut umur, terungkap bahwa sebanyak 4.770 jiwa atau 12 persen berumur 0-5 tahun, 3.716 jiwa atau 10 persen berumur 6-12 tahun, 4.813 jiwa atau 13 persen berumur 13-16 tahun, 6.023 jiwa atau 16 persen berumur 17-19 tahun, 7.512 jiwa atau 20 persen berumur 20-25 tahun, 4.234 jiwa atau 11 persen berumur 26-39 tahun, 2.432 jiwa atau 6 persen berumur 40-55 tahun, 2.256 jiwa berumur 56-60 tahun, dan selebihnya atau sekitar 2.124 jiwa atau 6 persen berumur 60 tahun atau lebih. (Kantor Camat Bangko, 2006).
Klasifikasi
atau tingkat pendidikan masyarakat Bagansiapi-api di empat kelurahan
juga memperlihatkan keragaman. Berdasarkan data dari kantor kelurahan di
empat kelurahan yakni Kelurahan Bagan Barat, Bagan Timur, Bagan Kota
dan Bagan Hulu, pada 2006 tercatat bahwa sebanyak 18.021 orang atau 53
persen berpendidikan SD atau yang sederajat, sebanyak 7.639 orang atau
22.40 persen berpendidikan SLTP atau sederajat mencapai 5.926 orang atau
17.38 persen berpendidikan SLTA atau sederajat, sebanyak 1.234 orang
atau 3.61 persen mengaku berpendidikan diploma, selanjutnya hanya 849
orang atau 2.49 persen menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana atau di
atasnya dan selebihnya, yakni 432 orang atau 1.27 persen mengaku tidak
pernah bersekolah.
Pula, mata pencaharian penduduk di empat kelurahan di Bagansiapi-api memperlihatkan keragaman. Berdasarkan laporan kantor kelurahan di empat kelurahan yakni Kelurahan Bagan Barat, Bagan Timur, Bagan Kota dan Bagan Hulu, pada 2006 terungkap bahwa mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah menjadi buruh, yakni sebesar 13.980 orang atau 36.90 persen, selanjutnya ditempati penduduk dengan mata pencaharian sebagai nelayan sebesar 8.894 orang atau 23.48 persen, sebanyak 2.252 orang atau 21.78 persen mengaku bekerja di sektor Swasta, sebanyak 5.109 orang atau 13 persen mengaku sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan terakhir sebanyak 584 orang atau 1.54 persen mengaku sebagai TNI/Polri. Besarnya jumlah PNS yang berdomisili di Bagansiapi-api, yakni 13 persen dari total populasi kiranya tidak cukup mengejutkan mengingat status kota ini sebagai ibu kota kabupaten.Selanjutnya, dilihat dari komposisi keagamaan masyarakat Bagansiapi-api di empat kelurahan yakni Kelurahan Bagan Barat, Bagan Timur, Bagan Kota dan Bagan Hulu, terdiri dari: pemeluk Islam sebanyak 27.780 orang atau 73.34 persen, disusul pemeluk Budha sebanyak 7.392 orang atau 19.51 persen, selanjutnya pemeluk Kristen Katolik sebanyak 1.655 orang atau 4.37 persen, kemudian pemeluk Kristen Protestan sebanyak 925 orang atau 2.44 persen, dan paling sedikit adalah pemeluk Hindu, yakni sebanyak 128 orang atau 0.34 persen dari total populasi penduduk Bagansiapi-api.
Prosentase populasi pemeluk agama di empat kelurahan tersebut memperlihatkan perbedaan antara satu kelurahan dengan kelurahan lain. Berdasarkan pencatatan di empat kelurahan tersebut pada 2006, kami menemukan bahwa penduduk beragama Islam menempati prosentase terbesar di semua kelurahan di Bagansiapi-api dengan rincian sebagaimana berikut: Bagan Hulu sebanyak 9.712 orang atau 92 persen, Bagan Timur sebanyak 6.053 orang atau 80 persen, Bagan Barat sebanyak 8.568 orang atau 63 persen, dan Bagan Kota sebanyak 3.448 orang atau 57 persen dari populasi penduduk di kelurahan bersangkutan.
Adapun prosentase populasi pemeluk agama Budha terbanyak ditemukan di Kelurahan Bagan Kota, yakni sebesar 2.427 atau 40 persen, disusul Bagan Barat, yakni sebesar 3.915 orang atau 29 persen, sementara di Kelurahan Bagan Timur, pemeluk Budha tercatat sebanyak 938 orang atau sebanyak 12 persen, dan hanya 112 orang atau 1 persen masyarakat Bagan Hulu yang mengaku beragama Budha. Demikian pula pemeluk Kristen Katolik dan Protestan. Di antara empat kelurahan tersebut pemeluk Kristen Katolik paling besar ditemukan di Kelurahan Bagan Barat, yakni sebesar 852 orang atau 6 persen, sementara pemeluk Kristen Protestan terbanyak ditemukan Kelurahan Bagan Hulu, yakni tercatat sebanyak 372 orang atau sebesar 3 persen. Sementara itu, pemeluk Hindu tergolong paling sedikit, bahkan di Kelurahan Bagan Kota dan Bagan Hulu tidak ditemukan seorang pun yang mengaku beragama Hindu.
Menarik dikemukakan, meskipun etnis Tionghoa di Bagansiapi-api mencapai sekitar 40 persen dari total populasi, tidak seorang pun yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Rokan Hilir sebagai pemeluk selain lima agama resmi negara. Hal ini cukup mengejutkan, setidaknya apabila dibandingkan temuan Andriyani yang mengungkapkan bahwa masyarakat China di Bagansiapi-api umumnya menganut Tridarma. Agama Tridarma agama dengan tiga aliran yaitu Budhisme, Konghucuisme dan Daoisme. Lebih lanjut Andriyani menyatakan bahwa orang-orang China di wilayah perkotaan Bagansiapi-api dalam menjalankan ajaran agama Tridarma berkonsep pada ajaran ketuhanan Budha, berkonsep pada Konghucuisme sebagai filsafat dan Daoisme dalam melaksanakan upacara keagamaan mereka. Orang China di Bagansiapi-api yang menganut agama Budha murni memang ditemukan, meski jumlah mereka sedikit dan tidak sebesar pencatatan yang dilakukan negara.
Pula, mata pencaharian penduduk di empat kelurahan di Bagansiapi-api memperlihatkan keragaman. Berdasarkan laporan kantor kelurahan di empat kelurahan yakni Kelurahan Bagan Barat, Bagan Timur, Bagan Kota dan Bagan Hulu, pada 2006 terungkap bahwa mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah menjadi buruh, yakni sebesar 13.980 orang atau 36.90 persen, selanjutnya ditempati penduduk dengan mata pencaharian sebagai nelayan sebesar 8.894 orang atau 23.48 persen, sebanyak 2.252 orang atau 21.78 persen mengaku bekerja di sektor Swasta, sebanyak 5.109 orang atau 13 persen mengaku sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), dan terakhir sebanyak 584 orang atau 1.54 persen mengaku sebagai TNI/Polri. Besarnya jumlah PNS yang berdomisili di Bagansiapi-api, yakni 13 persen dari total populasi kiranya tidak cukup mengejutkan mengingat status kota ini sebagai ibu kota kabupaten.Selanjutnya, dilihat dari komposisi keagamaan masyarakat Bagansiapi-api di empat kelurahan yakni Kelurahan Bagan Barat, Bagan Timur, Bagan Kota dan Bagan Hulu, terdiri dari: pemeluk Islam sebanyak 27.780 orang atau 73.34 persen, disusul pemeluk Budha sebanyak 7.392 orang atau 19.51 persen, selanjutnya pemeluk Kristen Katolik sebanyak 1.655 orang atau 4.37 persen, kemudian pemeluk Kristen Protestan sebanyak 925 orang atau 2.44 persen, dan paling sedikit adalah pemeluk Hindu, yakni sebanyak 128 orang atau 0.34 persen dari total populasi penduduk Bagansiapi-api.
Prosentase populasi pemeluk agama di empat kelurahan tersebut memperlihatkan perbedaan antara satu kelurahan dengan kelurahan lain. Berdasarkan pencatatan di empat kelurahan tersebut pada 2006, kami menemukan bahwa penduduk beragama Islam menempati prosentase terbesar di semua kelurahan di Bagansiapi-api dengan rincian sebagaimana berikut: Bagan Hulu sebanyak 9.712 orang atau 92 persen, Bagan Timur sebanyak 6.053 orang atau 80 persen, Bagan Barat sebanyak 8.568 orang atau 63 persen, dan Bagan Kota sebanyak 3.448 orang atau 57 persen dari populasi penduduk di kelurahan bersangkutan.
Adapun prosentase populasi pemeluk agama Budha terbanyak ditemukan di Kelurahan Bagan Kota, yakni sebesar 2.427 atau 40 persen, disusul Bagan Barat, yakni sebesar 3.915 orang atau 29 persen, sementara di Kelurahan Bagan Timur, pemeluk Budha tercatat sebanyak 938 orang atau sebanyak 12 persen, dan hanya 112 orang atau 1 persen masyarakat Bagan Hulu yang mengaku beragama Budha. Demikian pula pemeluk Kristen Katolik dan Protestan. Di antara empat kelurahan tersebut pemeluk Kristen Katolik paling besar ditemukan di Kelurahan Bagan Barat, yakni sebesar 852 orang atau 6 persen, sementara pemeluk Kristen Protestan terbanyak ditemukan Kelurahan Bagan Hulu, yakni tercatat sebanyak 372 orang atau sebesar 3 persen. Sementara itu, pemeluk Hindu tergolong paling sedikit, bahkan di Kelurahan Bagan Kota dan Bagan Hulu tidak ditemukan seorang pun yang mengaku beragama Hindu.
Menarik dikemukakan, meskipun etnis Tionghoa di Bagansiapi-api mencapai sekitar 40 persen dari total populasi, tidak seorang pun yang dicatat Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Rokan Hilir sebagai pemeluk selain lima agama resmi negara. Hal ini cukup mengejutkan, setidaknya apabila dibandingkan temuan Andriyani yang mengungkapkan bahwa masyarakat China di Bagansiapi-api umumnya menganut Tridarma. Agama Tridarma agama dengan tiga aliran yaitu Budhisme, Konghucuisme dan Daoisme. Lebih lanjut Andriyani menyatakan bahwa orang-orang China di wilayah perkotaan Bagansiapi-api dalam menjalankan ajaran agama Tridarma berkonsep pada ajaran ketuhanan Budha, berkonsep pada Konghucuisme sebagai filsafat dan Daoisme dalam melaksanakan upacara keagamaan mereka. Orang China di Bagansiapi-api yang menganut agama Budha murni memang ditemukan, meski jumlah mereka sedikit dan tidak sebesar pencatatan yang dilakukan negara.
0 komentar:
Posting Komentar