Riau pada
saat ini, setidaknya ada tiga
penyebutan asal usul penyebutan nama riau. Pertama, toponomi riau berasal dari penamaan orang Portugis rio yang
berarti sungai. Kedua, tokoh Sinbad al-Bahar dalam kitab Alfu Laila Wa Laila
menyebut riahi untuk suatu tempat di Pulau Bintan, seperti yang pernah
dikemukakan oleh almarhum Oemar Amin Hoesin dalam pidatonya ketika terbentuknya
Provinsi Riau. Ketiga, diambil dari kata rioh atau riuh yang berarti
hiruk-pikuk, ramai orang bekerja. Dari ketiga kemungkinan di atas, kata rioh
atau riuh merupakan hal yang paling sangat mendasar penyebutan nama Riau.Nama riau
yang berpangkal dari ucapan rakyat setempat, konon berasal dari suatu peristiwa
ketika didirikannya negeri baru di sungai Carang untuk jadikan pusat kerajaan. Hulu sungai itulah yang kemudian bernama Ulu Riau. Adapun peristiwa itu
kira-kira seperti teks seperti di bawah ini.
Tatkala perahu-perahu dagang yang semula pergi ke Makam Tauhid
(ibukota Kerajaan Johor) diperintahkan membawa barang dagangannya ke sungai
Carang di pulau Bintan (suatu tempat sedang didirikan negeri baru) di muara
sungai itu mereka kehilangan amh. Bila
ditanyakan kepada awak-awak perahu yang hilir, “di mana tempat orang-orang raja
mendirikan negeri” mendapat jawaban “di sana di tempat yang rioh” sambil
mengisyaratkan ke hulu sungai. Menjelang sampai ke tempat yang dimaksud, jika
ditanya ke mana maksud mereka, selalu mereka jawab, “mau ke rioh”.
Pembukaan
negeri Riau yang sebelumnya bernama sungai Carang itu pada 27 September 1673,
diperintahkan oleh Sultan Johor Abdul Jalil Syah III (1623-1677) kepada Laksamana
Abdul Jamil. Setelah Riau menjadi negeri, maka Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah,
merupakan sultan Riau pertama yang dinobatkan pada 4 Oktober 1722. Setelahnya,
nama Riau dipakai untuk menunjukkan satu di antara 4 daerah utama kerajaan
Johor, Pahang, Riau dan Lingga.Setelah Perjanjian London 1824 yang membelah dua
kerajaan tersebut menjadi dua bagian, maka nama riau digabungkan dengan lingga,
sehingga terkenal pula sebutan Kerajaan Riau-Lingga. Pada zaman pemerintahan
Belanda dan Jepang, nama ini dipergunkan untuk daerah kepulauan Riau ditambah
dengan pesisir Timur Sumatera.
Pada zaman
kemerdekaan, Riau merupakan sebuah kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera
Tengah. Setelah Provinsi Riau terbentuk pada pada tahun 1958, maka nama itu di
samping dipergunakan untuk nama sebuah kabupaten, dipergunakan pula untuk nama
sebuah provinsi seperti saat ini. Sejak tahun 2002 Riau terpecah menjadi dua
wilayah, yaitu Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah yang menjadi
Provinsi Riau saat ini berasal dari beberapa wilayah kerajaan Melayu sebelumnya
yakni Kerajaan Pelalawan (1530-1879), Kerajaan Inderagiri (1658-1838), dan
Kerajaan Siak (1723-1858) dan sebagian dari Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913).
Sejarah
Provinsi Riau
Periode 5 Maret 1958 - 6 Januari 1960
Pembentukan Provinsi Riau
ditetapkan dengan Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957. Kemudian
diundangkan dalam Undang-undang Nomor 61 tahun 1958. Sama halnya dengan
Provinsi lain yang ada di Indoensia, untuk berdirinya Provinsi Riau memakan
waktu dan perjuangan yang cukup panjang, yaitu hampir 6 tahun (17 Nopember 1952
s/d 5 Maret 1958).Dalam Undang-undang pembentukan
daerah swatantra tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau, Jo Lembaran Negara
No 75 tahun 1957, daerah swatantra Tingkat I Riau meliputi wilayah daerah
swatantra tingkat II:
1. Bengkalis
2. Kampar
3. Indragiri
4. Kepulauan Riau
5. Kotaparaja Pekanbaru
Dengan surat keputusan Presiden
tertanggal 27 Februari 1958 No. 258/M/1958 telah diangkat Mr. S.M. Amin,
Gubernur KDH Provinsi Riau di lakukan pada tanggal 5 Maret 1958 di
Tanjungpinang oleh Menteri Dalam Negeri yang diwakili oleh Sekjen Mr. Sumarman.
Pelantikan tersebut dilakukan ditengah-tengah klimaksnya pemberontakan PRRI di
Sumatera Tengah yang melibatkan secara langsung daerah Riau. Dengan demikian,
Pemerintah Daerah Riau yang baru terbentuk harus mencurahkan perhatian dan
kegiatannya untuk memulihkan keamanan di daerahnya sendiri.
Seiring dengan terjadinya
pemberontakan PRRI, telah menyebabkan kondisi perekonomian di Provinsi Riau yang
baru terbentuk semakin tidak menentu. Untuk mengatasi kekurangan akan makanan,
maka diambil tindakan darurat, para pedagang yang mampu dikerahkan untuk
mengadakan persediaan bahan makanan yang luas. Dengan demikian dalam waktu
singkat arus lalu lintas barang yang diperlukan rakyat berangsur-angsur dapat
dipulihkan kembali. Di Riau Daratan
yang baru dibebaskan dari pengaruh PRRI, pemerintahan di Kabupaten mulai
ditertibkan. Sebagai Bupati Inderagiri di Rengat ditunjuk Tengku Bay, di
Bengkalis Abdullah Syafei. Di Pekanbaru dibentuk filial Kantor Gubernur yang
pimpinannya didatangkan dari kantor Gubernur Tanjungpinang, yaitu Bupati Dt.
Wan Abdurrachman dibantu oleh Wedana T. Kamaruzzaman.
Pemindahan Ibukota
Karena situasi daerah telah mulai
aman, maka oleh pemerintah (Menteri Dalam Negeri) telah mulai difikirkan untuk
menetapkan ibukota Provinsi Riau secara sungguh-sungguh, karena penetapan
Tanjung pinang sebagai
ibukota provinsi hanya bersifat sementara. Dalam hal ini Menteri Dalam Negeri
telah mengirim kawat kepada Gubernur Riau tanggal 30 Agustus 1958 No. Sekr.
15/15/6. Untuk
menanggapi maksud kawat tersebut secara sungguh-sungguh dan penuh pertimbangan
yang cukup dapat dipertanggung jawabkan, maka Badan Penasehat meminta kepada
Gubernur supaya membentuk suatu Panitia khusus. Dengan Surat Keputusan Gubernur
Kepala Daerah Swatantra tingkat I Riau tanggal 22 September 1958 No.21/0/3-D/58
dibentuk panitia Penyelidik Penetapan Ibukota Daerah Swatantra Tingkat I Riau.
Panitia ini telah berkeliling ke
seluruh Daerah Riau untuk mendengar pendapat-pendapat pemuka-pemuka masyarakat,
penguasa Perang Riau Daratan dan Penguasa Perang Riau Kepulauan. Dari angket
langsung yang diadakan panitia tersebut, maka diambillah ketetapan, bahwa sebagai
ibukota terpilih Kota Pekanbaru. Pendapatan ini langsung disampaikan kepada
Menteri Dalam Negeri. Akhirnya tanggal 20 Januari 1959 dikeluarkan Surat
Keputusan dengan No. Des.52/1/44-25 yang menetapkan Pekanbaru sebagai ibukota
Provinsi Riau.
Untuk merealisir ketetapan
tersebut, dibentuklah dipusat suatu panitia interdepartemental, karena
pemindahan ibukota dari Tanjungpinang ke Pekanbaru menyangkut kepentingan semua
Departemen. Sebagai pelaksana di daerah dibentuk pula suatu badan di Pekanbaru
yang diketuai oleh Penguasa Perang Riau Daratan Letkol. Kaharuddin Nasution. Sejak itulah mulai dibangun Kota Pekanbaru dan untuk tahap pertama
mempersiapkan bangunan-bangunan yang dalam waktu singkat dapat menampung pemindahan
kantor-kantor dan pegawai-pegawai dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru. Sementara
persiapan pemindahan secara simultan terus dilaksanakan, perubahan struktur
pemerintahan daerah berdasarkan Penpres No.6/1959 sekaligus direalisir.Gubernur
Mr. S.M. Amin digantikan oleh Letkol Kaharuddin Nasution yang dilantik digedung
Sekolah Pei Ing Pekanbaru tanggal 6 Januari 1960. Karena Kota Pekanbaru belum
mempunyai gedung yang representatif, maka dipakailah gedung sekolah Pei Ing
untuk tempat upacara.
Periode 6
Januari 1960 - 15 Nopember 1966
Dengan di lantiknya Letkol
Kaharuddin Nasution sebagai Gubernur, maka struktur Pemerintahan Daerah Tingkat
I Riau dengan sendirinya mengalami pula perubahan. Badan Penasehat Gubernur
Kepala Daerah dibubarkan dan pelaksanaan pemindahan ibukota dimulai. Rombongan
pemindahan pertama dari Tanjungpinang ke Pekanbaru dimulai pada awal Januari
1960 dan mulai saat itu resmilah Pekanbaru menjadi ibukota.Aparatur
pemerintahan daerah, sesuai dengan Penpres No.6 tahun 1959 mulai dilengkapi dan
sebagai langkah pertama dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 14
April 1960 No. PD6/2/12-10 telah dilantik Badan Pemerintah Harian bertempat di
gedung Pei Ing Pekanbaru dengan anggota-anggota terdiri dari:
- Wan Ghalib
- Soeman Hs
- A. Muin Sadjoko.
Anggota-anggota Badan Pemerintahan Harian tersebut merupakan pembantu-pembantu Gubernur Kepala Daerah untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari. Di dalam rapat Gubernur, Badan Pemerintah Harian dan Staff Residen Mr. Sis Tjakraningrat, disusunlah program kerje Pemerintah Daerah, yang dititik beratkan pada:
1. Pemulihan perhubungan lalu lintas untuk kemakmuran
rakyat
2. Menggali sumber-sumber penghasilan daerah
3. Menyempurnakan aparatur.
Program tersebut dilaksanakan secara konsekwen sehingga
dalam waktu singkat jalan raya antara Pekanbaru sampai batas Sumatera Barat
siap dikerjakan. Jalan tersebut merupakan kebanggaan Provinsi Riau. Pemasukan
keuangan daerah mulai kelihatan nyata, sehingga Kas Daerah yang pada mulanya
kosong sama sekali, mulai berisi. Anggaran Belanja yang diperbuat kemudian
tidak lagi merupakan anggaran khayalan tetapi betul-betul dapat dipenuhi dengan
sumber-sumber penghasilan sendiri sebagai suatu daerah otonom.Disamping itu
atas prakarsa Gubernur Kaharuddin Nasution diusahakan pula pengumpulan dana
disamping keuangan daerah yang sifatnya inkonvensional. Dana ini diperdapat
dari sumber-sumber di luar anggaran daerah, dan hasilnya dimanfaatkan untuk
pembangunan, diantaranya pembangunan pelabuhan baru beserta gudangnya, gedung
pertemuan umum (Gedung Trikora), gedung Universitas Riau, Wisma Riau Mesjid
Agung, Asrama Pelajar Riau untuk Putera dan Putri di Yogyakarta dan lain-lain.
Untuk penyempurnaan pemerintahan daerah, disusunlah
DPRD-GR. Untuk itu ditugaskan anggota BPH Wan Ghalib dengan dibantu Bupati Dt.
Mangkuto Ameh untuk mengadakan hearing dengan partai-partai politik dan
organisasi-organisasi massa dalam menyusun komposisi. Sesuai dengan itu
diajukan sebanyak 38 calon anggota yang disampaikan kepada menteri dalam negeri
Ipik Gandamana. Usaha untuk menyempurnakan Pemerintah Daerah terus
ditingkatkan, disamping Gubernur Kepala Daerah, pada tanggal 25 April 1962
diangkat seorang Wakil Gubernur kepala Daerah, yaitu Dt. Wan Abdurrahman yang
semula menjabat Walikota Pekanbaru, jabatan Walikota dipegang oleh Tengku Bay.
Masuknya unsur-unsur Nasional dan Komunis dalam tubuh
BPH disebabkan saat itu sudah merupakan ketentuan yang tidak tertulis, bahwa
semua aparat pemerintahan harus berintikan "NASAKOM". Kemudian
Penpres No. 6 tahun 1959 diganti dan disempurnakan dengan Undang-undang No. 18
tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Nasakomisasi diterapkan
tidak melalui ketentuan perundang-undangan tetapi tekanan-tekanan dari
atas. Sejalan dengan itu dibentuk pula pula apa yang dinamakan Front
Nasional Daerah Tingkat I Riau, yang pimpinan hariannya terdiri dari unsur
Nasakom. Front Nasional ini mengkoordinir semua potensi parta-partai politik
dan organisasi-organisasi massa. Dengan sendirinya di dalam Front Nasional ini
bertarung ideologi yang bertentangan, yang menurut cita-cita haruslah
dipersatukan.
Kedudukan pimpinan harian Front
Nasional ini merupakan kedudukan penting, karena mereka menguasai massa rakyat.
Karena itu pulalah Pimpinanan Harian tersebut didudukkan di samping Gubernur
Kepala Daerah, yang merupakan anggota Panca Tunggal. Atas dasar Nasakomisasi
ini, maka golongan komunis telah dapat merebut posisi yang kuat. Ditambah pula
dengan tekanan-tekanan pihak yang berkuasa, maka peranan komunis dalam Front Nasional
tersebut sangat menonjol. Disamping penyempurnaan aparatur pemerintahan, oleh Pemerintah Daerah
dirasakan pula bahwa luasnya daerah-daerah kabupaten yang ada dan
batas-batasnya kurang sempurna, sehingga sering menimbulkan stagnasi dalam
kelancaran jalannya roda pemerintahan. Ditambah lagi adanya hasrat rakyat dari
beberapa daerah seperti Indragiri Hilir, Rokan, Bagan Siapi-api dan lain-lain
yang menginginkan supaya daerah-daerah tersebut dijadikan Kabupaten. Untuk itu
maka oleh Pemerintah Daerah Provinsi Riau pada tanggal 15 Desember 1962 dengan
SK. No.615 tahun 1962 di bentuklah suatu panitia.
Hasil kerja dari pantia tersebut
menjadikan Provinsi Riau 5 (lima) buah daerah tingkat II dan satu buah
Kotamadya.
1. Kotamadya Pekanbaru: Walikota
KDH Kotamadya Tengku Bay.
2. Kabupaten Kampar: Bupati KDH
R. Subrantas
3. Kabupaten Indragiri Hulu:
Bupati KDH. H. Masnoer
4. Kabupaten Indragiri Hilir:
Bupati KDH Drs. Baharuddin Yusuf
5. Kabupaten Kepulauan Riau:
Bupati KDH Adnan Kasim
6. Kabupaten Bengkalis: Bupati
KDH H. Zalik Aris.
Sewaktu pemerintah pusat
memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia dan Singapura, serta
ditingkatkan dengan konfrontasi fisik dengan keputusan Presiden Republik
Indonesia tahun 1963, maka yang paling dahulu menampung
konsekwensi-konsekwensinya adalah daerah Riau. Daerah ini yang berbatasan
langsung dengan kedua negara tetangga tersebut dan orientasi ekonominya sejak
berabad-abad tergantung dari Malaysia dan Singapura sekaligus menjadi kacau.Untuk
menghadapi keadaan yang sangat mengacaukan kehidupan rakyat tersebut, dalam
rapat kilat yang diadakan Gubernur beserta anggota-anggota BPH, Catur Tunggal
dan Instansi-instansi yang bertanggung jawab, telah dibahas situasi yang gawat
tersebut serta dicarikan jalan keluar untuk bisa mengatasi keadaan. Kepada
salah seorang anggota BPH ditugaskan untuk menyusun suatu konsep program yang
meliputi semua bidang kecuali bidang pertanahan, dengan diberi waktu satu
malam. Dalam rapat yang diadakan besok paginya konsep yang telah disusun
tersebut diterima secara mutatis mutandis.
Tetapi nyatanya pemeritah pusat
waktu itu tidak dapat melaksanakan program tersebut sebagaimana yang diharapkan
terutama tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
yang dihadapi langsung oleh rakyat, seperti pengiriman bahan pokok untuk
daerah-daerah Kepulauan dan penyaluran hasil produksi rakyat.Dalam bidang
moneter diambil pula tindakan-tindakan drastis dengan menghapuskan berlakunya
mata uang dollar Singapura/Malaysia di Kepulauan Riau, serta menggantinya
dengan KRRP (Rupiah Kepualaun Riau) yang berlaku mulai tanggal 15 Oktober 1963.
Untuk melaksanakan pengrupiahan Kepualauan Riau tersebut, diberikan tugas
kepada Team Task Force II dibawah pimpinan Mr. Djuana dari Bank Indonesia.
Dengan perubahan-perubahan pola
ekonomi secara mendadak dan menyeluruh dengan sendirinya terjadi stagnasi.
Perekonomian jadi tidak menentu. Arus barang terhenti, baik keluar maupun
masuk. Daerah Riau yang pada dasarnya adalah penghasil barang ekspor, akhirnya
menjadi kekeringan. Barang-barang produksi rakyat, terutama karet menjadi
menumpuk dan tak dapat di alirkan, barang-barang kebutuhan rakyat tidak masuk
kecuali yang didatangkan oleh pemerintah sendiri yang tebatas hanya di
kota-kota pelabuhan. Kebijaksanaan yang diambil pemerintah kemudian tidak
meredakan keadaan, malahan menambah kesengsarahan rakyat, terutama di bidang
ekonomi dan keamanan.
Untuk menanggulangi bidang
ekonomi, di pusat dibentuk Komando Tertinggi Urusan Ekonomi (Kotoe) yang dipimpin
oleh Wakil Perdana Menteri I Dr. Subandrio. Di Riau di tunjuk Gubernur
Kaharuddin Nasution sebagai pembantu Kotoe tersebut. Oleh Kotoe di tunjuk PT.
Karkam dengan hak monopoli untuk menampung seluruh karet rakyat dan mengekspor
keluar negeri. Kondisi ini justru semakin memperburuk perekonomian rakyat.Pada tahun-tahun terakhir masa jabatan Gubernur
Kaharuddin Nasution terjadi ketegangan dengan pemuka-pemuka masyarakat Riau.
Dari segi politis, ketegangan dengan tokoh-tokoh masyarakat Riau telah berjalan
beberapa tahun yang berpangkal pada politik kepegawaian.
Pemuka-pemuka daerah berpendapat
bahwa Gubernur Kaharuddin Nasution terlalu banyak memberikan
kedudukan-kedudukan kunci kepada orang-orang yang dianggap tidak mempunyai
iktikad baik terhadap daerah Riau. Hal ini ditambah pula dengan ditangkapnya
Wakil Gubernur Dt. Wan Abdul Rachman yang difitnah ikut dalam gerakan membentuk
negara RPI (Republik Persatuan Indonesia), fitnahan ini dilansir oleh PKI.
Akibatnya Dt. Wan Abdurrachman diberhentikan dari jabatannya dengan hak
pensiun.Kebangkitan Angkatan 66 dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran di
Riau bukanlah suatu gerakan spontanitas tanpa sadar. Kebangkitan Angkatan 66
timbul dari suatu embrio proses sejarah yang melanda Tanah Air. Konsep Nasakom
Orde Lama menimbulkan penyelewengan-penyelewengan dalam segala aspek kehidupan
nasional.
Lembaga-lembaga Negara tidak
berfungsi sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945. Penetrasi proses Nasakomisasi
ke dalam masyarakat Pancasilais menimbulkan keretakan sosial dan menggoncangkan
sistem-sistem nilai yang menimbulkan situasi konflik. Di tambah lagi adanya
konfrontasi dengan Malaysia yang menyebabkan rakyat Riau sangat menderita
karena kehidupan perekonomian antara Riau dengan Malaysia menjadi terputus.
Demikianlah penderitaan,
konfrontasi dan kemelut berlangsung terus dan suasana semakin panas di Riau.
Menjelang meletusnya G 30 S/PKI kegiatan tokoh-tokoh PKI di Riau makin
meningkat. Mereka dengan berani secara langsung menyerang lawan-lawan
politiknya. Tokoh-tokoh PKI Riau Alihami Cs mempergunakan kesempatan dalam
berbagai forum untuk menghantam lawan-lawannya dan menonjolkan diri sebagai
pihak yang revolusioner. Begitu juga masyarakat Cina yang berkewargaan negara
RRC memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang luar biasa. Malam tanggal 30
September 1965 mereka yang tergabung dalam Baperki bersama-sama dengan PKI Riau
mengadakan konsolidasi dan Show of force dalam memperingati Hari Angkatan
Perang Republik Indonesia, jadi sehari mendahului waktu peringatan yang sebenarnya.
Tindakan selanjutnya; PKI beserta
ormas-ormasnya memboikot sidang pleno lengkap Front Nasional Riau yang langsung
dipimpin oleh Gubernur Kaharuddin Nasution pada tanggal 30 September 1965.
Ternyata kegiatan dan pergerakan PKI beserta ormas-ormasnya adalah untuk
merebut pemerintahan yang syah. Kondisi ini akhirnya bisa di akhiri, perjuangan
generasi muda Riau tidak sia-sia, rezim Orde Lama di Riau tamat sejarahnya dan
Kolonel Arifin Achmad diangkat sebagai care taker Gubernur/KDH Riau pada
tanggal 16 Nopember 1966. Mulai saat itu tertancaplah tonggak kemenangan Orde
Baru di Riau.
Dengan diangkatnya Kolonel Arifin
Achmat sebagai care taker Gubernur Kepala Daerah Provinsi Riau terhitung mulai
tanggal 16 Oktober 1966 dengan surat keputusan Menteri Dalam Negeri No.
UP/4/43-1506. pelantikannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Letnan Jenderal
Basuki rachmad dalam suatu sidang pleno DPR-GR Provinsi Riau pada tanggal 15
Nopember 1966. Kemudian pada tanggal 16 Februari 1967 DPRD-GR Provinsi Riau
mengukuhkan Kolonel Arifin Achmad sebagai Gubernur Riau dengan Surat Keputusan
Nomor 002/Kpts/67. Maka Menteri Dalam Negeri mengesyahkan pengangkatan Kolonel
Arifin Achmad sebagai Gubernur Kepala Derah Provinsi Riau untuk masa jabatan 5
tahun, dengan Surat Keputusan No. UP/6/1/36-260, tertanggal 24 Februari 1967.
Surat Keputusan tersebut diperbaharui dengan Surat Keputusan Presiden Repbulik
Indonesia Nomor : 146/M/1969 tertanggal 17 Nopember 1969.
Seiring dengan berhembusnya angin
reformasi telah memberikan perubahan yang drastis terhadap negeri ini, tidak
terkecuali di Provinsi Riau sendiri. Salah satu perwujudannya adalah dengan
diberlakukannya pelaksanaan otonomi daerah yang mulai di laksanakan pada tanggal
1 Januari 2001. Hal ini berimplikasi terhadap timbulnya daerah-daerah baru di
Indonesia, dari 27 Provinsi pada awalnya sekarang sudah menjadi 32 Provinsi.
0 komentar:
Posting Komentar