Setelah
memiliki raja sebagai yang mereka inginkan, kehidupan di Rantau Binuang mulai
dirasakan sebagai sebuah kehidupan yang didambakan yaitu kehidupan yang aman,
tenteram, dan dinamis. Periode kedua ini merupakan periode yang memiliki
Perkembangan lumayan hebat dalam sejarahnya. Pada saat itu segala aktivitas
dapat mereka lakukan tanpa ada rasa takut dan was-was akan menimpa mereka,
karena Situasi betul-betul aman. Ketika To’ Permaisuri
diutus oleh Yang Dipertuan Tua ke Rantau Binuang, statusnya belum memiliki
pasangan hidup. Duh yang Dipertuan Tua, abang dari To’Permaisuri pun pergi ke
Pinang Awan di Sungai Merah untuk menemui adik Raja Aru. Maksud kedatanganya
adalah untuk menikahkan To’ Permaisuri dengan adik Raja Aru, yaitu Barluni
Tarligan. Rombongan Kerajaan Aru kemudian mereka bawa ke Tambusai.
Padahal
di sisi lain, Yang Dipertuan Tua sebenarnya merasa berat untuk berpisah dengan
saudaraya. Oleh karenanya sebelum mendapatkan To’ Permaisuri Raja Aru harus nempuh
padang Selingkunan sehagai tantangan atau salah satu syaratuntuk mendapatkan
To’ Permaisuri. Di Selingkunan itu hidup seekor kerbau jalang yang
harus dihadapi oleh Raja Aru sebagai tanda keperkasaan atau kekutannya.
Sesampainya di Selingkunan, untuk beberapa saat Raja Aru dan rombongan
melepaskan lelah. Tiba-tiba terdengarlah suara kerbau jalang yang langsung
mengejar Raja Aru. Beberapa saat kemudian keduanya saling bentrok sampai
akhirnya kerbau jalang itu dibunuh oleh Raja Aru dengan
tikaman tombaknya. Tombak yang dibawa Raja Aru tersebut merupakan bagian dari
perbekalan perjalanannya selain perisai dan buntil. Akhir dari pertarungan itu
tentu adalah kekalahan kerbau jalang. Kerbau jalang itu pun dibawa
ke Tambusai setelah sebelumnya disembelih untuk dipupahkan(upah-upah)
sebagai orang yang meminang To’ Permaisuri.
Setelah
Raja Aru genap satu bulan di Tambusai, Duli Yang Dipertuan Tua berkata kepada suku
nan tujuh bahwa Raja Aru adalah jodoh adiknya. Selanjutnya setelah
restu diberikan oleh Yang Dipertuan Tua, Raja Tambusai,maka Raja Aru pulang ke
negerinya dengan diantar oleh suku nan sembilan melalui jalur Kuala
di Nogoi Tingga (daerah Gelugur Kota Tengah).Setelah beberapa tahun hidup
bersama To’ Permaisuri mangkatlah Raja Aru dengan meninggalkan dua orang putera
sebagai calon penggantinya. Tercatat dalam sejarah bahwa hanya seorang putera
yang disebut namanya sebagai pengganti Raja Aru, yaitu Datuk Negeri Tingga.
Setelah Raja Aru mangkat, kehidupan kerajaan tetap bertahan sebagaimana
sebelumnya, yaitu raja, punggawa, dan masyarakatnya dapat menjalankan segala
aktivitasnya tanpa menemui hambatan. Urutan pergantian kepemimpinan Kerajaan
Aru setelah Datuk Negeri Tingga wafat maka digantikan oleh puteranya yaitu
Maruhum Sultan Sulaiman. Setelah Maruhum Sultan Sulaiman mangkat kemudian
digantikan oleh To’ Maruhum Kaya. To’Maruhum Kaya pun akhirnya mangkat dan
digantikan oleh puteranya yang bernama Maruhum Sultan Matullah Yang Dahulu.
Setelah
mangkat Maruhum Sultan Matullah Yang
Dahulu, beliau digantikan oleh puteranya To’ Sutan Makula Yang Dahulu. Beliau
ini meninggalkan putera sebagai penggantinya yaitu To’ Maruhum Sutan Sulaiman.
To’ Maruhum Sutan Sulaiman mempunyai
putera Sutan Makula sebagai pengganti kedudukannya sebagai raja yang
selanjutnya juga digantikan oleh puteranya yang bernama Sultan Sulaiman dengan
Maruhum Akhir Zaman yang menjadi raja di Kerajaan Tambusai. Kemudian datanglah
Sultan Sulaiman ke Tambusai untuk menikah dengan salah seorang puteri raja.
Pernikahan itu tidak berlangsung lama, karena istrinya meninggal dunia dan
akhirnya Sultan Sulaiman kembali ke Kepenuhan. Sepulangnya dari Tambusai beliau
langsung diangkat menjadi raja di Kepenuhan. Tidak berapa lama berselang datang
pula Yang Tuan Muda Pagaruyung ke Kepenuhan yang diberi gelar dengan Yang Tuan
Besar.
Pada
masa periode II, kepulangan Sultan Sulaiman ke daerah asalnya, yaitu Kepenuhan,
adalah untuk memimpin kembali kerajaan. Kepulangan itu membawa berkah dalam
catatan sejarah bagi Luhak Kepenuhan, karena beliau adalah orang Kepenuhan asli
yang pertama menjadi raja, sebagaimana disebut dalam bukunya Putri Minerva
Mutiara yang berjudul, Sejarah Tambusai, tetapi tidak diketahui tahun
berapa pastinya Sultan Sulaiman tersebut memerintah. Berdasarkan keterangan
Mantan Saih Paduko, yaitu Datuk Abdul Latief (almarhum), bahwa kerajaan
tersebut berlangsung sebelum masyarakat Kepenuhan meminta Rajake Pagaruyung. Ada
keterputusan tali sejarah setelah Sultan Sulaiman menjadi raja di Kepenuhan.
Menurut informasi dari beberapa tokoh masyarakat, bahwa yang memberi gelar
Datuk Bendahara Sakti adalah Sultan Sulaiman ini ( lihat pasal Datuk Bendahara
Sakti).
Dalam
pasal tersebut terlihat, bahwa kondisi masyarakat dalam keadaan yang tidak
menentu setelah wafatnya Sultan Sulaiman. Ditambah lagi dengan banyaknya
kerajaan-kerajaan yang menambah tanah kekuasaannya. Akibatnya,masyarakat
mengambil tindakan mengungsi besar-besaran untuk mencari prlindungan dari
situasi yang tidak menentu tersebut. Pada saat itu suku-suku sudah mulai ada,
sebagai buktinya bisa dilihat berdasarkan proses kedatangan mereka setelah
melalui jojo (saling kenal) di antara mereka. Datuk Bendahara
Sakti dapat mengendalikan masyarakat dalam wilayah kekuasaannya yaitu,
perkampungan yang beliau pimpin. Namun demikian beliau menyadari bahwa usia
yang tidak mungkin untuk terus mendampingi masyarakat atau anak kemenakannya,
sehingga beliau berpikir untuk mencari penggantinya.
Pemikiran
tersebut beliau sampaikan kepada anak kemenakannya dan dimusyawarah kan dengan seksama serta bijaksana. Mereka sedang
membutuhkan seorang raja untuk mengganti kepemimpinan yang kosong. Hasil dari
musyawarah itu menyimpulkan untuk mengirim utusan ke raja di Pagaruyung memohon
agar memberikan seorang raja. Untuk menindak lanjuti
hal tersebut maka diutuslah dengan memberikan kepercayaan kepada Suku Ampu
(baca Bab Adat) untuk mendampingi rombongan ke Pagaruyung. Rombongan yang
dipimpin oleh Suku Ampu tersebut diiringi dengan doa, “semoga perjalanan
itu membawa berkah dan hasil yang diinginkan”.Setelah menempuh perjalanan
hari demi hari, minggu demi minggu, akhirnya rombongan sampai di Pagaruyung,
yang waktu itu dipimpin oleh Datuk Popatih Nan Sebatang.
Dengan
persetujuan para Punggawa Kerajaan Pagaruyung, kepala rombonganpun
diperkenankan menemui Raja Pagaruyung untuk mengutarakan maksud kedatangan rombongan
dari Kepenuhan. Rombongan masyarakat Kepenuhan memohon kepada raja agar
memberikan seorang Raja untuk memimpin Kepenuhan. Denga berbagai pertimbangan
akhirnya Raja Pagaruyung mengabulkan permintaan tersebut dengan memberikan
seorang raja yang masih kecil, yakni berumur sekitar 11 tahun.
Dengan
perasaan haru kepala rombongan mengucapkan banyak terima kasih kepada Raja
Pagaruyung yang telah bermurah hati memberikan seorang raja kepada masyarakat
Kepenuhan. Setelah semua urusan selesai, sebagai perwakil rombongan masyarakat
Kepenuhan, akhirnya kepala rombong berpamitan kepada raja untuk kembali ke
Kepenuhan. Sejarah mencatat
bahwa dalam perjalanan pulang rombongan masyarakat Kepenuhan dipimpin oleh Suku
Ampu. Bermula dari tingkah laku calon sang raja masih kekanak-kanakan dan
manja, maka segala yang diinginkannya harus iikuti sebagai perintah dan titah.
Orang
Suku Ampu adalah mempunyai sifat cepat tersinggung dan pemarah(lihat Bab
Tentang Lahirnya Suku-Suku Kepenuhan). Oleh karenanya ketika melihat sikap raja
yang kekanak-kanakan dan manja tersebut membuat pimpinan rombongan merasa
kesal. Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh akhirnya raja beserta rombongan
beristirahat guna melepaskan lelah dan dahaga. Raja yang merasa lelah dan haus
pun minta disediakan minum. Pada waktu itu tempat
minum masih menggunakan bambu. Dengan minum menggunakan wadah dari bambu,
pimpinan rombongan berpikir kalau dirinya berkesempatan untuk menghabisi nyawa
sang raja sebagai pelampiasan rasa kekesalannya.
Sebelum
diberikan kepada raja, tempat minum dari
bambu ia runcingkan terlebih dahulu.Tanpa curiga raja pun menikmati minuman
dari dalam bambu yang telah diruncingkan tersebut. Pada kesempatan itulah
pimpinan rombongan menekan bambu yang ada di mulut raja, hingga akhirnya raja
mati terbunuh oleh pimpinan rombongan dengan menusukkan bambu ke mulut raja
kecil pemberian Raja Pagaruyung.Melihat kejadian itu, anggota rombongan lainnya
tidak berani menyelamatkan raja atau mengambil tindakan atas perbuatan pimpinan
mereka. Suku Ampu bahkan mengeluarkan ancaman kepada anggota rombongan yang
bersamanya, apabila yang menceritakan hal tersebut kepada Datuk Bendhara Sakti
maka akan dibunuh.
SikapSuku Ampu begitu angkuh hingga mereka
sampai di kampung halaman. Ketika hampir sampai
di Kepenuhan, Datuk Bendahara Sakti beserta kemenakan dan masyarakatnya
menyambut kepulangan rombongan dari Pagaruyung. Mereka sangat berharap
mendengar kabar yang menggembirakan guna mengobati kerinduan dan harapan adanya
seorang raja yang akan mengembalikan kepercayaan diri mereka terhadap apa yang
sedang mereka hadapi. Setelah rombongan itu mendekat hampir sampai ke
tempat penyambutan, mereka tidak melihat raja yang mereka idam-idamkan. Mereka
pun menghampiri Datuk Bendahara Sakti untuk mendengarkan hasil perjalanan yang
dipimpin oleh Suku Ampu.
Dengan
wajah sangat sedih pimpinan rombongan menceritakan hasil dari perjalanan
mereka, yaitu mereka sudah berupaya memohon kepada Raja Pagaruyung untuk
memberikan raja, namun Raja Pagaruyung belum mengabulkan permintaan mereka.
Demikian kilah kepala rombongan kepada masyarakat yang hadir pada waktu itu. Datuk
Bendahara Sakti tidak habis pikir atas sikap yang ditunjukkan oleh Raja
Pagaruyung. Datuk Bendahara Sakti sangat percaya dengan apa yang disampaikan
pimpinan rombongan. Rahasia terus terkunci. Beberapa waktu kemudian para
masyarakat dan anak kemenakan pun kembali mengadakan pertemuan guna membicarakan
bagaimana cara mendapatkan raja dari Pagaruyung.
Dari
pertemuan tersebut dicapai sebuah kesepakatan untuk kembali mengirimkan utusan
ke Raja Pagaruyung meminta agar beliau memberikan seorang raja. Mereka sepakat
untuk mengutus rombongan yang kedua ke Pagaruyung dengan dipimpin oleh Suku
Mais. Kepergian rombongan
tersebut dilepas dengan penuh harap. Sesampainya di Pagaruyung, setelah melepas
lelah, mereka pun menghadap Raja Pagaruyung yang waktu itu masih dipimpin oleh Datuk
Popatih Nan Sebatang. Merekapun menceritakan maksud kedatangannya, yaitu
keinginan masyarakat Kepenuh an akandiberikannya seorang raja.
Mendengar
ungkapan utusan rombongan, Raja Pagaruyung. sangat terkejut,karena beliau sudah
memenuhi keinginan masyarakat Kepenuhan melalui rombongan yang dipimpin Suku
Ampu. Mendengar ungkapan raja, utusan masyarak Kepenuhan menjadi sangat
terpukul, malu, dan salah tingkah atas sikap yang ditunjukkan rombongan
pertama. Menyikapi hal tersebut, Raja Pagaruyung memberikan titah untuk melacak
apa yang diperbuat Suku Ampu sebagai pimpinan rombongan pertama. Meskipun
demikian, dengan bijak, Raja Pagaruyung kemba1i memenuhi keinginan masyarakat
Kepenuhan, yakni memberikan seorang raja yang bernama Yang Tuan Besar Dengan
Gelar Yang Tuan Muda Dari Pagaruyung.
Rasa
haru dan bangga terpancar dari rombongan kedua ini, karena berhasil memenuhi
amanah yang telah diemban, yaitu membawa seorang raja dari Pagaruyung. Rombongan
kedua pun mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga atas kebijaksanaan Raja
Pagaruyung dan sekaligus berpamitan untuk kembali ke Kepenuhan. Namun demikian,
sebelum mereka pulang, salah seorang punggawa Kerajaan Pagaruyung mengusulkan
agar membawa 7 hasta kain kemudian setiap pemberhentian mereka harus menyobek
kain tersebut. Maksud punggawa tersebut adalah untuk mengetahui arah perjalanan
yang dilalui rombongan dua, sehingga dapat ditelusuri arahnya untuk
mengantisipasi apabila terjadi kejadian serupa.
Rombongan
tersebut pun kembali menuju Kepenuhan dengan mengikuti titah Sang Raja, yaitu
merobek kain di setiap pemberhentian mereka hingga sampai di Kepenuhan.
Sesampainya di Kepenuhan, mereka disambut dengan perayaan adat. Mencerma hal
demikian, Suku Ampu merasa resah atas keberhasilan rombongan kedua yang
dipimpin Suku Mais, Ketika perayaan adat berakhir, malamnya Datuk Bendahara
Sakti memberikan kesempatan kepada rombongan kedua untuk menceritakan bagaimana
tanggapan Raja Pagaruyung atas permintaan kedua tersebut. Suku Mais menceritakan
hasil pertemuannya dengan Raja Pagaruyung kepada Datuk bendaharaSakti. Datuk
Bendahara Sakti terkejut ketika mendengar bahwa Raja Pagaruyung sebenarnya
sudah mengirimkan raja melalui rombongan pertama yang dipimpin Suku Ampu.
Hal
itu juga didengar oleh raja baru masyarakat Kepenuhan, ketika Suku Mais bertemu
dengan Raja Pagaruyung. Setelah mendengarkan semuanya, Datuk Bendahara Sakti
meminta Suku Ampu untuk menceritakan hal yang terjadi sebenarnya dalam
perjalanan membawa raja kecil menuju Kepenuhan. Dengan rasa malu dan serba
salah Suku Ampu terpaksa memberanikan bercerita tentang hal yang sebenarnya
terjadi. Raja Pagaruyung memang telah memberikan raja kepada masyarakat
Kepenuhan, yaitu seorang anak kecil (berumur sekitar 11 tahun), tetapi ketika
beristirahat minum dalam perjalanan, raja kecil tersebut dibunuh menggunakan
bambu yang sebelumnya diruncingkan sebagai wadah raja minum.
Berdasarkan
musyawarah yang dipimpin Datuk Bendahara Sakti, maka diberikan sanksi yang
sangat berat kepada Suku Ampu yaitu, tidak diperbolehkan memimpin kerapatan adat
untuk selamanya. Sanksi atau larangan tersebut masih diberlakukan sampai
sekarang. Padahal dalam
masyarakat, sebagai anak kemenakan, budaya dan tradisi padawaktu itu yang boleh
mendampingi atau memimpin dalam adat untuk keseluruhan suku yang ada adalah
Suku Melayu dan Suku Ampu. Namun karena kejadian tersebut, Suku Ampu tidak
diperkenankan untuk memimpin kerapatan adat. Namun berdasarkan kejadian ini
pula masyarakat dan anak kemenakan Suku Ampu justru memberikan penghargaan
kepada sikap pemimpinnya yang berani yaitu dengan memberikan gelar Datuk
Bendahara Perkasa kepada pucuk Suku Ampu.
0 komentar:
Posting Komentar